Para Persona
  • Teras Depan

JURNAL HARI INI : SENTIMENTAL VALUE

25/12/2018

0 Comments

 
Saya dan ibu saya beberes lemari Minggu lalu, pada sebuah Minggu pagi yang sudah lama direncanakan namun kami telah lama berpura-pura seolah tak ada waktu luang. Kami beberes untuk melapangkan ruang penyimpanan, bonusnya adalah kami menyederhanakan kekosongan-kekosongan yang telah lama kami simpan.

Kami seringkali menggerutu melihat lemaru-lemari pakaian di rumah yang penuh sesak. Bukan karena kami sering membeli pakaian baru, namun rupanya karena pakaian-pakaian lama tak ada yang kami relakan untuk segera pergi meninggalkan. Pun tak hanya pakaian, beberapa barang kami simpan di lemari, dari yang diniatkan disimpan sementara, hingga yang disengajakan untuk disimpan lama-lama.

Salah satu youtuber favorit saya, Agung Hapsah, pernah mengupload sebuah video berjudul A Little Black Book yang ternyata telah lama dihapus. Video kesukaan saya. Di video itu Agung memperlihatkan sentimenal value dari sebuah buku catatan berwarna hitam milik ayahnya. Buku biasa namun yang menyimpan sejarah, saksi perjuangan ayahnya ketika menempuh pendidikan di Australia. As the time goes by, buku yang diam-diam menyimpan bertahun-tahun kenangan itu rupanya telah kikis dimakan rayap.

Saya tak pandai mendefinisikan sesuatu. Sentimental value, menurut istilah yang saya pinjam dari Agung Hapsah (dan rupanya cukup umum digunakan) merupakan nilai atas suatu hal yang kita kaitkan dengan perasaan dan kenangan tertentu atas hal tersebut. Sentimental value ini memiliki keterikatan yang besar dengan masa-masa bahagia, momen istimewa, bahkan seseorang yang penting untuk kita.

Buat ibu saya, lemarinya penuh dengan pakaian milik ayah yang memiliki banyak sentimental value. Karena tak lagi bisa memandang ayah tiap hari, maka membuka lemari dan mendapati pakaian ayah masih tergantung rapi membuatnya merasa cukup. Pertemuan sederhana. Ibu ingat betul pakaian yang mana membawa kenangan berdua yang mana bersama ayah. Untuk itulah lemari tak pernah berkurang isinya—disengajakan—pakaian ayah satu-satunya barang yang masih dapat dinikmati ibu sambil mengingat kembali betapa tampan ayah mengenakannya waktu masih ada.​
Picture

​Saya, beda lagi. Dari beberes kemarin bukan pakaian yang saya temukan memiliki 
sentimental value bagi saya, melainkan beberapa benda. Ada satu discman yang saya simpan. Saya lupa tahun berapa benda ini saya miliki, kalau tak salah sekitar kelas 6 SD atau 1 SMP. Harganya sekitar dua ratus ribu rupiah waktu itu. Barang mewah pertama yang saya beli dari hasil pecah tabungan. Saya kurang paham, sih waktu itu dapat ide dari mana untuk membeli discman, not my favorite thing tho, tapi jelas benda yang rupanya tak terlalu awet digunakan ini punya sentimental value buat saya karena benda itu merupakan cikal bakal kebiasaan menabung saya. Sejak kecil, saya dan kakak-kakak jarang sekali minta dibelikan sesuatu ke orang tua. Kalau ingin sesuatu, menabung sendiri, walaupun butuh waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun untuk mencapai nominal yang dibutuhkan. Tapi saya ingat sekali bagaimana rasa senangnya setelah menunggu lama dan akhirnya saya bisa menunjuk barang yang saya mau di depan etalase toko. Membawanya pulang lalu mendengarkan beberapa lagu dengan suka cita. Seperti penantian terbayar setelah jerih payah menyisihkan uang sedikit demi sedikit. Sejak itu, saya jadi tahu nikmatnya menabung. Hingga sekarang pun, apa yang saya mau, tidak harus saya penuhi hari ini meski ada uang. Tahan dulu, menabung dulu.

Barang kedua yang masih saya simpan adalah hard disk komputer lama saya. Sudah hampir sepuluh tahunan hard disk tersebut rusak dan sama sekali tidak bisa di-service. Masih saya simpan karena sayang sekali, banyak foto keluarga di dalamnya. Setelah punya kamera digital, kami jarang mencetak foto-foto yang terekam. Kenangan-kenangan itu disimpan begitu saja di dalam komputer karena alasan praktis. Mungkin kami kurang jauh memperkirakan bahwa komputer pasti akan rusak juga. Bagi saya, menyimpan hard disk tersebut rasanya sedikit memberi ruang bagi hati bahwa yang berlalu pergi akan bisa pulih kembali, walaupun kalau dipikir-pikir kembali, kemungkinannya hanya ada nol persen. Tapi sungguh, mungkin memang ini sugesti yang saya kembangkan sendiri: bahwa menyimpannya memberi saya rasa aman. Rasanya keluarga saya masih dekat dengan saya. Walaupun tidak juga saya bawa kemana-mana, tetap diam di sana dan tidak saya apa-apakan juga. Bukan menjadi benda yang saya sadari pula keberadaannya tiap hari. Tapi rasanya selalu ada excuse untuk tak membuangnya begitu saja.  

Beranjak ke gudang, masih ada beberapa sentimental value yang lebih kental dari hal-hal kecil yang saya temukan minggu lalu. Terutama, sepeda Polygon Montana yang sudah berkali-kali mau dijual ibu saya. Lain kali mungkin ada tulisan tersendiri tentang ini. Urusan sentimental value ini memang nyeri-nyeri sedap. Kita tidak bisa mempertahankan sebuah momen dalam kehidupan kita dengan sekali tangkap. Momen itu fana, kecenderungan kita untuk mengkorelasikan momen tersebut ke dalam sesuatu--benda, aroma, dan sebagainya--itulah yang kita rupakan nyata dan ada: agar kenangan menjadi abadi.  

Minggu lalu beberapa lemari menjadi lebih luang, meskipun nyatanya tak ada pakaian ayah yang dikeluarkan sama sekali. Yang ada malah pakaian-pakaian lama milik saya dan ibu yang kami ungsikan keluar.

Selebihnya, beberapa benda dan hal penuh kenangan baik masih di sana.

Beberapa kami sengajakan untuk selamanya di sana. 
0 Comments



Leave a Reply.

Site powered by Weebly. Managed by Rumahweb Indonesia
  • Teras Depan